Doa Awal dan Akhir Tahun Hijriyah, Adakah Tuntunan ?

By // Tidak ada komentar:

Adakah tuntunan untuk doa awal dan akhir tahun hijriyah?


Amalan ini begitu tersebar di berbagai masjid di negeri kita ini. Sehingga sangat penting sekali kita mengetahui ada dasar ataukah tidak amalan tersebut.


Doa Awal dan Akhir Tahun, Adakah Tuntunan?


Syaikh Bakr Bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah berkata, “Syariat Islam tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan doa atau dzikir untuk awal tahun. Manusia saat ini banyak yang membuat kreasi baru dalam hal amalan berupa doa, dzikir atau tukar menukar ucapan selamat, demikian pula puasa awal tahun baru, menghidupkan malam pertama bulan Muharram dengan shalat, dzikir atau do’a, puasa akhir tahun dan sebagainya yang semua ini tidak ada dalilnya sama sekali.” (Tashih Ad Du’a’, hal.107)


Syaikh ‘Abdullah At Tuwaijiriy berkata, “Sebagian orang membuat inovasi baru dalam ibadah dengan membuat-membuat doa awal tahun dan akhir tahun. Sehingga dari sini orang-orang awam ikut-ikutan mengikuti ritual tersebut di berbagai masjid, bahkan terdapat para imam pun mengikutinya. Padahal, doa awal dan akhir tahun tersebut tidak ada pendukung dalil sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dari para sahabatnya, begitu pula dari para tabi’in. Tidak ada satu hadits pun yang mendukungnya dalam berbagai kitab musnad atau kitab hadits.” (Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 399).


Dilanjutkan pula oleh Syaikh At Tuwaijiriy di halaman yang sama, “Kita tahu bahwa doa adalah ibadah. Pengkhususan suatu ibadah itu harus tawqifiyah (harus dengan dalil). Doa awal dan akhir tahun sendiri tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula pernah dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Idem)


Kaedah Memahami Bid’ah


Para ulama telah menjelaskan kaedah untuk menerangkan manakah yang termasuk bid’ah, manakah yang bukan.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap perkara yang faktor pendorong untuk melakukannya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dan mengandung suatu maslahat, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa perkara tersebut bukanlah maslahat. Namun, apabila faktor tersebut baru muncul setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan hal itu bukanlah maksiat, maka perkara tersebut adalah maslahat.“ (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2: 101)


Contohnya saja, adzan saat shalat ‘ied, ada faktor pendorong dan tidak ada yang menghalangi untuk menghidupkannya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak melakukannya, maka ini menunjukkan bahwa adzan saat shalat ‘ied jika ada yang melakukannya saat ini dihukumi sebagai bid’ah.


Sama halnya dengan doa awal dan akhir tahun. Itu pun tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan di masa para sahabat. Padahal saat itu bisa saja dilakukan karena masih adanya faktor pendorong dan tidak ada yang menghalanginya, namun hal itu tidak dilakukan. Ini menunjukkan jika ada yang membuat-buatnya saat ini dengan mengumpulkan jamaah menjelang waktu Maghrib untuk membacakan doa akhir tahun dan setelah masuk Maghrib untuk membaca doa awal tahun, itu semua termasuk bid’ah yang tidak dituntunkan.


Perlu dipahami pula bahwa penetapan tarikh hijriyah (kalender Hijriyah) baru ada di masa khalifar Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.



Berdasarkan kesepatakan para sahabat, bulan Muharram ditetapkan sebagai awal tahun dan bulan Dzulhijjah ditetapkan sebagai akhir tahun. Ketika penetapan awal dan akhir tahun pun, kita tidak dapati para sahabat memanjatkan doa awal dan akhir tahun. Tidak ada di antara para sahabat yang membuat ritual tersebut padahal bisa saja mereka melakukannya.


Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh salafush sholeh dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti jejak mereka, atau tidak ada nukilan, tulisan, atau penyampaian di dalam majelis, maka perbuatan tersebut disebut bid’ah dengan syarat ada faktor pendorong untuk melakukannya dan tidak ada penghalang yang menghalangi untuk melakukan ibadah tersebut.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 181)


Tinggalkan Bid’ah!


Marilah kita bersama menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari segala macam bid’ah.


Jika seseorang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah tanda orang yang cinta pada Allah. Seorang ulama yang terkenal zuhud dan pemberi nasehat yang menyentuh hati, Dzun Nuun Al Mishri berkata,


مِنْ عَلاَمَاتِ المُحِب للهِ مُتَابَعَةُ حَبِيْبِ اللهِ فِي أَخْلاَقِهِ وَأَفْعَالِهِ وَأَوَامِرِهِ وُسُنَنِهِ


“Tanda seseorang cinta pada Allah adalah mengikuti habibullah (kekasih Allah yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam akhlak, perbuatan, urusan dan sunnahnya.” (Al I’tishom, 1: 152).


Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Ats Tsaqofi berkata,


لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنَ الأَعْمَالِ إِلاَّ مَا كَانَ صَوَابًا وَمِنْ صَوَابِهَا إِلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَمِنْ خَالِصِهَا إِلاَّ مَا وَافَقَ السُّنَّة


“Allah tidaklah menerima amalan kecuali amalan tersebut showab (benar). Amalan yang benar adalah amalan yang ikhlas. Amalan yang ikhlas adalah amalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al I’tishom, 1: 156).


Semoga kita menjadi orang yang benar-benar mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dan meninggalkan amalan yang tidak beliau contohkan.


 

Referensi:


Al I’tishom, Ibrahim bin Musa Asy Syathibi, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1431 H.


Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiriy, terbitan Darul Fadhilah, cetakan pertama, tahun 1421 H.


Iqtidho’ Shirothil Mustaqtim li Mukholafati Ash-habil Jahiim, Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyyah, tahqiq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedelapan, tahun 1421 H.


Qawa’id Ma’rifatil Bida‘, Muhammad bin Husain Al Jizani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1430 H.


Tashih Ad Du’a’, Syaikh Bakr Abu Zaid, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1419 H.




Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc


Ghibah itu Apa?

By // Tidak ada komentar:

Apa itu ghibah?


Ghibah itu termasuk dosa besar. Namun perlu dipahami artinya.


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589).


Ghibah kata Imam Nawawi adalah menyebutkan kejelekan orang lain di saat ia tidak ada saat pembicaraan. (Syarh Shahih Muslim, 16: 129).


Dalam Al Adzkar (hal. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai. Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit. Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain. Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”


Bahkan dikatakan dalam Majma’ Al Anhar (2: 552), segala sesuatu yang ada maksud untuk mengghibah termasuk dalam ghibah dan hukumnya haram.


Hukum ghibah itu diharamkan berdasarkan kata sepakat ulama. Ghibah termasuk dosa besar. Sebagian ulama membolehkan ghibah pada non muslim seperti Yahudi dan Nashrani sebagaimana diisyaratkan dalam Subulus Salam (4: 333), sebagiannya lagi tetap melarang ghibah pada kafir dzimmi.


Semoga bermanfaat.


 

Referensi:


Al Adzkar An Nawawiyah, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Khuzaimah, cetakan pertama, tahun 1422 H.


Kunuz Riyadhis Sholihin, Rois Al Fariq Al ‘Ilmi: Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin ‘Abdirrahman Al ‘Ammar, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1430 H.


Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.



Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc



Tata Cara Shalat Jama' dan Qashar (Maghrib & Isya')

By // 7 komentar:

Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu perjalananya yang panjang, misalnya naik pesawat terbang, kapal laut, karyawisata, mengunjungi kakek dan nenek di kampung halaman atau keperluan lainnya. Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah shalat. Padahal shalat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun juga. Kasih sayang Allah kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara memberikan rukhshah (keringanan) dalam melaksanakan shalat dengan cara Jama'  dan Qashar dengan syarat-syarat tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita pelajari materi berikut ini.
Orang yang sedang bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat atau meringkas shalat yang jumlah shalatnya empat raka’at menjadi dua raka’at (Shalat Qashar). Dibolehkan pula mengumpulkan shalat dalam satu waktu, shalat Zhuhur dengan 'Ashar - Maghrib dengan Isya’ (Shalat Jama’). Sedangkan shalat Shubuh tidak bisa di-Qashar maupun dijama’ tapi untuk shalat maghrib bisa di-Jama’ dan tidak bisa di-Qashar.

Men-jama' shalat ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yang awal (misalnya Maghrib dan Isya' dilakukan pada waktu Maghrib), maka dinamakan Jama' Takdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua (seperti Maghrib dan Isya' dilakukan pada waktu Isya) maka disebut Jama' Ta'khir.

Syarat meng-qashar:
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 80,5 km
3. Shalat yang di-qasar adalah ada' (bukan qadha') yang empat rakaat.
4. Niat qashar bersamaan dengan takbiratul ihram.
5. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).

6. Qashar shalat ketika sudah melewati tapal batas kota

Syarat Jama' Taqdim
1. Tertib, mengerjakan dua rakaat secara urut. Zhuhur harus didahulukan tidak boleh dibalik dengan mengerjakan Ashar dulu.
2. Niat jama' yang dibarengkan dengan takbiratul ihram shalat yang pertama, misalnya Zhuhur.
3. Terus-menerus, antara dua shalat yang dijama' tidak boleh diselingi dengan ibadah atau pekerjaan lain.


Syarat Jama' Ta'khir:
1. Niat jama' ta'khir yang diwaktu shalat yang pertama.
2. Mengerjakan shalat yang kedua ('Ashar) masih dalam perjalanan. Bila dikerjakan ketika sudah sampai rumah, maka tidak boleh dijama' ta'khir. Menurut qaul shahih dalam jama' ta'khir tidak perlu disyaratkan tertib, muwalah (terus menerus) dan dengan niat jama'.

Jama' Taqdim (Shalat Maghrib dengan Shalat Isya')
Dilaksanakan pada waktu Maghrib
Niat Shalat Maghrib
اُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْعِشَاءِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol Maghribi Tsalaatsa Raka'aatin Majmuu'an Ma'al 'Isyaa'i Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Maghrib tiga raka'at Jama' dengan Isya' secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
 Niat Shalat Isya'
اُصَلِّى فَرْضَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Isyaa'i Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'al 'Isyaa'i Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Isya' empat raka'at Jama' dengan Maghrib secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Jama' Ta'khir (Shalat Maghrib dengan Shalat Isya)
Dilaksanakan pada waktu Isya’
Niat Shalat Maghrib

اُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْعِشَاءِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol Maghribi Tsalaatsa Raka'aatin Majmuu'an Ma'al 'Isyaa'i Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Maghrib tiga raka'at Jama' dengan Isya' secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
 Niat Shalat Isya'
اُصَلِّى فَرْضَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Isyaa'i Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'al Maghribi Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Isya' empat raka'at Jama' dengan Maghrib secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Jama' Taqdim + Qashar (Shalat Maghrib dengan  Shalat Isya)
Dilaksanakan pada waktu Maghrib
Niat Shalat Maghrib (Tidak Bisa di-Qashar)

اُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْعِشَاءِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol Maghribi Tsalaatsa Raka'aatin Majmuu'an Ma'al 'Isyaa'i Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Maghrib tiga raka'at Jama' dengan Isya' secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
Niat Shalat Isya’
اُصَلِّى فَرْضَ اْلعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلمَغْرِبِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Isyaa'i Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'al Maghribi Jam'a Taqdiim Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat Isya' dua raka'at Qashar Jama' dengan Maghrib secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Jama' Ta'khir + Qashar (Shalat Maghrib dan Isya)
Dilaksanakan pada waktu Isya’
Niat Shalat Maghrib (Tidak Bisa di-Qashar)
اُصَلِّى فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْعِشَاءِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol Maghribi Tsalaatsa Raka'aatin Majmuu'an Ma'al 'Isyaa'i Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Maghrib tiga raka'at Jama' dengan Isya' secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
Niat Shalat Isya’ Qashar
اُصَلِّى فَرْضَ اْلعِشَاءِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلمَغْرِبِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Isyaa'i Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'al Maghribi Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat Isya' dua raka'at Qashar Jama' dengan Maghrib secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Semoga bermanfaat :)
Wallahu A'lamu Bish Showab
Sumber : al-badar.net

Jika terdapat kesalahan, mohon diberitahu dengan berkomentari di kolom komentar di bawah ini ya :)

Baca Juga:

- Tata Cara Shalat Jama' dan Qashar (Zhuhur & 'Ashar)
- Mengapa Shalat Harus Tepat Waktu?? Ini Jawabannya..
- Perasaan Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa Manusia
- Kisah Sepotong Roti Penebus Dosa
- Kisah Seorang Pemuda Zuhud
- Biografi Singkat WaliSongo : Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)  

Tata Cara Shalat Jama’ dan Qashar (Zhuhur & Ashar)

By // Tidak ada komentar:

Adakalanya kita mengadakan perjalanan jauh atau berpergian yang membutuhkan waktu perjalananya yang panjang, misalnya naik pesawat terbang, kapal laut, karyawisata, mengunjungi kakek dan nenek di kampung halaman atau keperluan lainnya. Hal itu menyebabkan kita sering menjumpai kesulitan untuk melakukan ibadah shalat. Padahal shalat merupakan kewajiban umat Islam yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun juga. Kasih sayang Allah kepada umat Islam sedemikian besar dengan cara memberikan rukhsah dalam melaksanakan shalat dengan cara jamak dan qasar dengan syarat-syarat tertentu. Apa sajakah itu? Mari kita pelajari materi berikut ini.
Orang yang sedang bepergian itu dibolehkan memendekkan shalat atau meringkas shalat yang jumlah shalatnya empat raka’at menjadi dua raka’at (Shalat Qashar). Dibolehkan pula mengumpulkan shalat dalam satu waktu, shalat Zhuhur dengan 'Ashar - Maghrib dengan Isya’ (shalat jama’). Sedangkan shalat Shubuh tidak bisa di-Qoshor maupun di-Jama’ tapi untuk shalat Maghrib bisa di-Jama’ dan tidak bisa di-Qashar.

Men-jama' shalat ada 2. Bila dilakukan waktu shalat yamg awal (misalnya Zhuhur dan Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur), maka dinamakan Jama' Takdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua (seperti Zhuhur dan 'Ashar dilakukan pada waktu ashar) maka disebut Jama' Ta'khir.

Syarat meng-qashar:
1. Bepergian yang bukan untuk tujuan maksiat
2. Jauh perjalanan minimal 80,5 km
3. Shalat yang di-qasar adalah ada' (bukan qadha') yang empat rakaat.
4. Niat qashar bersamaan dengan takbiratul ihram.
5. Tidak boleh bermakmum pada orang yang shalat sempurna (tidak di-qashar).

6. Qashar shalat ketika sudah melewati tapal batas kota

Syarat Jama' Taqdim
1. Tertib, mengerjakan dua rakaat secara urut. Zhuhur harus didahulukan tidak boleh dibalik dengan mengerjakan Ashar dulu.
2. Niat jama' yang dibarengkan dengan takbiratul ihram shalat yang pertama, misalnya Zhuhur.
3. Terus-menerus, antara dua shalat yang dijama' tidak boleh diselingi dengan ibadah atau pekerjaan lain.



Syarat Jama' Ta'khir:
1. Niat jama' ta'khir yang diwaktu shalat yang pertama.
2. Mengerjakan shalat yang kedua ('Ashar) masih dalam perjalanan. Bila dikerjakan ketika sudah sampai rumah, maka tidak boleh dijama' ta'khir. Menurut qaul shahih dalam jama' ta'khir tidak perlu disyaratkan tertib, muwalah (terus menerus) dan dengan niat jama'.

Jama' Taqdim (Shalat Zhuhur dengan Shalat 'Ashar)
(Shalat dilakukan pada waktu Zhuhur)
Niat Shalat Zhuhur
اُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِاَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ العَصْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhozh Zhuhri Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'al Ashri Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Zhuhur empat raka'at Jama' dengan 'Ashar secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala" 
Niat Shalat 'Ashar
اُصَلِّى فَرْضَ العَصْرِاَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الظُّهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Ashri Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'azh Zhuhri Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat 'Ashar empat raka'at Jama' dengan Zhuhur secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"


Jama' Ta'khir (Shalat Zhuhur dengan Shalat 'Ashar)
(Shalat dilakukan pada waktu 'Ashar)
Niat Shalat Zhuhur
اُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ العَصْرِ جَمْعَ تَأْخِيْرٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhozh Zhuhri Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'al Ashri Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat Zhuhur empat raka'at Jama' dengan 'Ashar secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
Niat Shalat 'Ashar
اُصَلِّى فَرْضَ العَصْرِاَرْبَعَ رَكَعَا تٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الظُّهْرِ جَمْعَ تَأْخٍيْرٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Ashri Arba'a Raka'aatin Majmuu'an Ma'azh Zhuhri Jam'a Ta'khiirin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat shalat 'Ashar empat raka'at Jama' dengan Zhuhur secara Jama' Ta'khir Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Jama' Taqdim + Qashar (Shalat Zhuhur dengan Shalat 'Ashar)
Dilaksanakan pada waktu Zhuhur, masing-masing dua raka'at
Niat Shalat Zhuhur Qashar (Taqdim Zhuhur dan 'Ashar)
اُصَلِّى فَرْضَ اْلظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرَا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلعَصْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhozh Zhuhri Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'al 'Ashri Jam'a Taqdiimin Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat Zhuhur dua raka'at Qashar Jama' dengan 'Ashar secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"
Niat Shalat 'Ashar Qashar (Taqdim Zhuhur dan 'Ashar)
(dilaksanakan pada waktu shalat Zhuhur)
اُصَلِّى فَرْضَ اْلعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلظُّهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Ashri Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'azh Zhuhri Jam'a Taqdiim Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat 'Ashar dua raka'at Qashar Jama' dengan Zhuhr secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Jama' Ta'khir + Qashar (Shalat Zhuhur dengan Shalat 'Ashar)
Dilaksanakan pada waktu 'Ashar, masing-masing dua raka'at
Niat Shalat Zhuhur Qashar (Ta'khir Zhuhur dan 'Ashar)
اُصَلِّى فَرْضَ اْلظُهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرَا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلعَصْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhozh Zhuhri Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'al 'Ashri Jam'a Taqdiim Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat Zhuhur dua raka'at Qashar Jama' dengan 'Ashar secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Niat Shalat Ashar Qashar (Ta'khir Zhuhur dan 'Ashar)
اُصَلِّى فَرْضَ اْلعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا مَجْمُوْعًا مَعَ اْلظُّهْرِ جَمْعَ تَقْدِيْمٍ مَأْمُوْمًا \ اِمَامًا لِلّهِ تَعَالَى
"Ushallii Fardhol 'Ashri Rak'ataini Qashran Majmu'an Ma'azh Zhuhri Jam'a Taqdiim Ma'muman / Imaman Lillahi Ta'ala"
"Aku niat Shalat 'Ashar dua raka'at Qashar Jama' dengan Zhuhur secara Jama' Taqdim Ma'mum / Imam karena Allah Ta'ala"

Semoga bermanfaat :)
Wallahu A'lamu Bish Showab
Sumber : al-badar.net Dll

Jika terdapat kesalahan, mohon diberitahu dengan memberi komentar di kolom di bawah ini ya :)

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alangkah Indahnya Islam

By // Tidak ada komentar:

Tema keindahan Islam sangat luas, panjang lebar sulit untuk diringkas dengan bilangan waktu yang tersisa. Sebelumnya, yang perlu kita ketahui adalah firman Allah.


إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ


“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali Imran: 19)


Juga firman-Nya.


وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ


“Barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima.”(Qs. Ali Imran: 85)


Jadi, agama yang dibawa oleh para nabi dan menjadi sebab Allah mengutus para rasul adalah dienul Islam. Allah mengutus para rasul untuk mengajak agar orang kembali kepada Allah. Para rasul datang untuk memperkenalkan Allah. Barang siapa menaati mereka, maka para rasul akan memberikan kabar gembira kepadanya. Adapun orang yang menentangnya, maka para rasul akan menjadi peringatan baginya. Para rasul diperintahkan untuk menegakkan agama di dunia ini.


Allah berfirman.


شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ


“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu ‘Tegakkan agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.’ Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada)-Nya.” (Qs. Asy-Syura: 13)


Islam adalah agama yang dipilih Allah untuk makhluk-Nya. Agama yang dibawa Nabi merupakan agama yang paripurna. Allah tidak akan menerima agama selainnya. Jadi agama ini adalah agama penutup, yang dicintai dan diridhaiNya.


Allah berfirman.


يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ


“Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada)-Nya.” (Qs. Asy-Syura: 42)


Sebagian ahli ilmu mengatakan, Sebelumnya aku mengira bahwa orang yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya. Dan orang yang meridhoi Allah, niscaya Allah akan meridhoinya. Dan barang siapa yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencintainya. Setelah aku membaca Kitabullah, aku baru mengetahui bahwa kecintaan Allah mendahului kecintaan hamba pada-Nya dengan dasar ayat,


يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ


“Dia mencintai mereka dan mereka mencitai-Nya.” (Qs. Al Maaidah: 54)


Ridha Allah kepada hambaNya mendahului ridha hamba kepada-Nya dengan dasar ayat,


رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ


“Allah meridhoi mereka dan mereka meridhoi-Nya.” (Qs. At-Taubah: 100)


Dan aku mengetahui bahwa penerimaan taubat dari Allah, mendahului taubat seorang hamba kepada-Nya dengan dasar ayat,


ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ


“Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs. At-Taubah: 118)


Demikianlah, bila Allah mencintai seorang manusia, maka Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. 

Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda. “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang Yahudi dan Nasrani yang mendengarku dan tidak beriman kepadaku, kecuali surga akan haram buat dirinya.” (Hadits Riwayat Muslim)


Karena itu, agama yang diterima Allah adalah Islam. Umat Islam harus menjadikannya sebagai kendaraan. Persatuan harus bertumpu pada tauhid dan syahadatain. Islam agama Allah. Kekuatannya terletak pada Islam itu sendiri. Allah menjamin penjagaan terhadapnya.


Allah berfirman,


إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ


“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9)


Sedangkan agama selainnya, jaminan ada di tangan tokoh-tokoh agamanya.


Allah berfirman.


بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ


“Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab.” (Qs. Al Maaidah: 44)


Kalau mereka tidak menjaganya, maka akan berubah. Ia bagaikan sesuatu yang mati. Harus digotong. Tidak dapat menyebar, kecuali dengan dorongan sekian banyak materi. Sedangkan Islam pasti tetap akan terjaga. Karena itu, masa depan ada di tangan Islam. Islam pasti menyebar ke seantero dunia.


 Allah telah menjelaskannya dalam Al Quran, demikian juga Nabi dalam Sunnahnya. Kesempatan kali ini cukup sempit, tidak memungkinkan untuk menyebutkan seluruh dalil. Tapi saya ingin mengutip sebuah ayat.


مَن كَانَ يَظُنُّ أَن لَّن يَنصُرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَلْيَمْدُدْ بِسَبَبٍ إِلَى السَّمَاء ثُمَّ لِيَقْطَعْ فَلْيَنظُرْ هَلْ يُذْهِبَنَّ كَيْدُهُ مَا يَغِيظُ


“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tidak menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.” (Qs. Al-Hajj: 15)


Dalam Musnad Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Amr, kami bertanya kepada Nabi, “Kota manakah yang akan pertama kali ditaklukkan? Konstantinopel (di Turki) atau Rumiyyah (Roma)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“Konstantinopel-lah yang akan ditaklukkan pertama kali, kemudian disusul Rumiyyah.”Yaitu Roma yang terletak di Italia. Islam pasti akan meluas di seluruh penjuru dunia. Pasalnya, Islam bagaikan pohon besar yang hidup lagi kuat, akarnya menyebar sepanjang sejarah semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.


Islam adalah agama (yang sesuai dengan) fitrah. Kalau anda ditanya, bagaimana engkau mengetahui Robb-mu. Jangan engkau jawab, “dengan akalku,” tapi jawablah, “dengan fitrahku.” Oleh karena itu, ketika ada seorang atheis yang mendatangi Abu Hanifah dan meminta dalil bahwa Allah adalah Haq (benar), maka beliau menjawab dengan dalil fitrah. “Apakah engkau pernah naik kapal dan ombak mempermainkan kapalmu?” Ia menjawab, “Pernah.” (Abu Hanifah bertanya lagi), “Apakah engkau merasa akan tenggelam?” Jawabnya, “Ya.” “Apakah engkau meyakini ada kekuatan yang akan menyelamatkanmu?” “Ya,” jawabnya. “Itulah fitrah yang telah diciptakan dalam dirimu. 


Kekuatan ada dalam dirimu itulah kekuatan fitrah Allah. Manusia mengenal Allah dengan fitrahnya. Fitrah ini terkandung dalam dada setiap insan. Dasarnya hadits Muttafaq ‘Alaih. Nabi bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.”


Akal itu sendiri bisa mengetahui bahwa Allah adalah Al-Haq. Namun ia secara mandiri tidak akan mampu mengetahui apa yang dicintai dan diridhoi Allah. Apakah mungkin akal semata saja dapat mengetahui bahwa Allah mencintai sholat lima waktu, haji, puasa di bulan tertentu? Karena itu, fitrah itu perlu dipupuk dengan gizi yang berasal dari wahyu yang diwahyukan kepada para nabi-Nya.


Sekali lagi, nikmat dan anugerah paling besar yang diterima seorang hamba dari Allah ialah bahwa Allah-lah yang memberikan jaminan untuk menetapkan syariat-Nya. 


Dialah yang menjelaskan apa yang dicintai dan diridhaiNya. Inilah nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Bila ada orang yang beranggapan ada kebaikan dengan keluar dari garis ini dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia telah keliru. Sebab kebaikan yang hakiki dalam kehidupan ini maupun kehidupan nanti hanyalah dengan menaati seluruh yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.


Syariat Islam datang untuk menjaga lima perkara. Allah telah mensyariatkan banyak hal untuk menegaskan penjagaan ini. Islam datang untuk menjaga agama. Karena itu, Allah mengharamkan syirik, baik yang berupa thawaf di kuburan, istighatsah kepada orang yang dikubur serta segala hal yang bisa menjerumuskan ke dalam syirik, dan mengharamkan untuk mengarahkan ibadah, apapun bentuknya, (baik) secara zahir maupun batin kepada selain Allah. Oleh sebab itu, kita harus memahami makna ringkas syahadatain yang kita ucapkan.


Syahadat “Laa Ilaaha Illa Allah”, maknanya: tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, ibadah hanya milik Allah. Ini bagian dari pesona agama kita. Allah mengharamkan akal, hati dan fitrah untuk melakukan peribadatan dan istijabah (ketaatan mutlak) kepada selain-Nya. Sedangkan makna syahadat “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, (yakni) tidak ada orang yang berhak diikuti kecuali Muhammad Rasulullah. Kita tidak boleh mengikuti rasio, tradisi atau kelompok jika menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Maka seorang muslim, di samping tidak beribadah kecuali kepada Allah, juga tidak mengikuti ajaran kecuali ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mengikutira’yu keluarga, ra’yu kelompok, ra’yu jama’ah, ra’yu tradisi dan lain-lain jika menyalahi Al Quran dan Sunnah.


Dakwah Salafiyah yang kita dakwahkan ini adalah dinullah yang suci dan murni, yang diturunkan oleh Allah pada kalbu Nabi. Jadi dalam berdakwah, kita tidak mengajak orang untuk mengikuti kelompok ataupun individu. Tetapi mengajak untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Namun, memang telah timbul dakhon (kekeruhan) dan tumbuh bid’ah. Sehingga kita harus menguasai ilmu syar’i. Kita beramal (dengan) meneladani ungkapan Imam Malik, dan ini, juga perkataan Imam Syafi’i, “Setiap orang bisa diambil perkataannya atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini, yaitu Rasulullah.”


Telah saya singgung di atas, agama datang untuk menjaga lima perkara. Penjagaan agama dengan mengharamkan syirik dan segala sesuatu yang menimbulkan akses ke sana. Kemudian penjagaan terhadap badan dengan mengharamkan pembunuhan dan gangguan kepada orang lain. Juga datang untuk memelihara akal dengan mengharamkan khamar, minuman keras, candu dan rokok. Datang untuk menjaga kehormatan dengan mengharamkan zina, percampuran nasab dan ikhtilath (pergaulan bebas). Juga menjaga harta dengan mengharamkan perbuatan tabdzir (pemborosan) dan gaya hidup hedonisme. Penjagaan terhadap kelima perkara ini termasuk bagian dari indahnya agama kita. Syariat telah datang untuk memerintahkan penjagaan terhadap semua ini. Dan masih banyak perkara yang digariskan Islam, namun tidak mungkin kita paparkan sekarang.


Syariat telah merangkum seluruh amal shahih mulai dari syahadat hingga menyingkirkan gangguan dari jalan. Karena itu tolonglah jawab, kalau menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari keimanan, bagaimana mungkin agama memerintahkan untuk mengganggu orang lain, melakukan pembunuhan dan peledakan? Jadi, ini sebenarnya sebuah intervensi pemikiran asing atas agama kita. Semoga Allah memberkahi waktu kita, dan mengaruniakan kepada kita pemahaman terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi dengan lurus. Dan semoga Allah memberi tambahan karunia-Nya kepada kita. Akhirnya, kami ucapkan alhamdulillah Rabbil ‘Alamin.


[Diambil dari situs almanhaj.or.id yang disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

***

Penulis: Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhahullah

 

Sejarah Kerajaan Saba'

By // Tidak ada komentar:

Saba’ adalah sebuah kerajaan di abad klasik yang berdiri sejak 1300 SM, terletak di wilayah Yaman saat ini. Kemasyhuran  negeri Saba’ benar-benar sesuatu yang fenomenal dan menakjubkan bagi siapa saja yang mengetahui kisahnya.


Siapakah Saba’ Itu?


Dalam hadis Farwah bin Musaik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang laki-laki, “Ya Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang Saba’? Apakah Saba’ itu? Apakah ia adalah nama sebuah tempat ataukah nama dari seorang wanita?” Beliau pun menjawab,


لَيْسَ بِأَرْضٍ وَلَا امْرَأَةٍ وَلَكِنَّهُ رَجُلٌ وَلَدَ عَشْرَةً مِنَ العَرَبِ، فَتَيَامَنَ سِتَّةٌ وَتَشَاءَمَ أَرْبَعَةٌ


 “Dia bukanlah nama suatu tempat dan bukan pula nama wanita, tetapi ia adalah seorang laki-laki yang memiliki sepeluh orang anak dari bangsa Arab. Enam orang dari anak-anaknya menempati wilayah Yaman dan empat orang menempati wilayah Syam.” (HR. Abu Dawud, no. 3988 dan Tirmidzi, no. 3222).


Dalam riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ada tambahan nama-nama dari anak Saba, “Adapun yang menempati wilayah Yaman, mereka adalah: Madzhij, Kindah, al-Azd, al-Asy’ariyun, Anmar, dan Himyar. Dan yang menempati wilayah Syam adalah Lakhm, Judzam, Amilah, dan Ghassan (HR. Ahmad, no. 2898).


Para sejarawan juga mencatat bahwa nama asli dari Saba’ adalah Abdu asy-Syams. Dan sebagaimana kita ketahui, nama-nama kabilah Arab terambil dari nama anak-anak Saba’.


Kerajaan Saba’


Awalnya kerajaan Saba’ dikenal dengan dengan Dinasti Mu’iinah sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai Mukrib Saba’. Ibu kotanya Sharwah, yang puing-puingnya terletak 50 km ke arah barat laut dari kota Ma’rib. Pada periode inilah bendungan Ma’rib mulai dibangun. Periode ini antara tahun 1300 SM hingga 620 SM. Pada periode berikutnya, antara tahun 620 SM – 115 SM, barulah mereka dikenal dengan nama Saba’. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibu kotanya.


Letak Geografi


Dahulu, secara garis besar wilayah Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian, bagian Utara dan bagian Selatan. Arab bagian Selatan lebih maju dibandingkan Arab bagian Utara. Masyarakat Arab bagian Selatan adalah masyarakat yang dinamis dan memiliki peradaban, mereka telah mengenal kontak dengan dunia internasional karena pelabuhan mereka terbuka bagi pedagang-pedagang asing yang hendak berniaga ke sana. Sementara orang-orang Arab Utara adalah mereka yang terbiasa dengan kerasnya kehidupan padang pasir, mereka kaku dan lugu karena kurangnya kontak dengan dunia luar. Tentu saja geografi kerajaan Saba’ sangat mempengaruhi bagi kemajuan peradaban mereka.


Kemakmuran Kaum Saba’


Kerajaan Saba’ terkenal dengan hasil alamnya yang melimpah, orang-orang pun banyak berhijrah dan bermitra dengan mereka. Perekonomian mereka begitu menggeliat hidup dan sangat dinamis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman mengabarkan tentang kemakmuran kaum Saba’


لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ


Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun, di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS. Saba’: 15)


Kedua kebun tersebut sangat luas dan diapit oleh dua gunung di wilayah Ma’rib. Tanahnya pun sangat subur, menghasilkan berbagai macam buah dan sayuran. Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid rahimahumallah mengisahkan, apabila ada seseorang yang masuk ke dalam kebun tersebut dengan membawa keranjang di atas kepalanya, ketika keluar dari kebun itu keranjang tersebut akan penuh dengan buah-buahan tanpa harus memetik buah tersebut. Abdurrahman bin Zaid menambahkan, di sana tidak ditemukan nyamuk, lalat, serangga, kalajengking, dan ular (Tafsir ath-Thabari, 20: 376-377).


Menurut al-Qusyairi, penyebutan dua kebun tersebut tidak berarti bahwa di Saba’ kala itu hanya terdapat dua kebun itu saja, tapi maksud dari dua kebun itu adalah kebun-kebun yang berada di sebelah kanan dan kiri lembah atau dianatara gunung tersebut. Kebun-kebun di Ma’rib saat itu sangat banyak dan memiliki tanaman yang bervariasi (Fathul Qadir, 4: 422).


Yang membuat tanah di Ma’rib menjadi subur adalah bendungan Ma’rib atau juga dikenal dengan nama bendungan ‘Arim, bendungan yang panjangnya 620m, lebar 60m, dan tinggi 16m ini mendistribusikan airnya ke ladang-ladang penduduk dan juga menjadi sumber air di wilayah Ma’rib.


Literatur sejarah menyebutkan bahwa yang membangun bendungan ini adalah Raja Saba’ bin Yasyjub sedangkan buku-buku tafsir mencatumkan nama Ratu Bilqis sebagai pemrakarsa dibangunnya bendungan ini. Ratu Bilqis berinisiatif mendirikan bendungan tersebut lantaran terjadi perebutan sumber air di antara rakyatnya yang mengakibatkan mereka saling bertikai bahkan saling membunuh.


Dengan dibangunnya bendungan ini, orang-orang Saba’ tidak perlu lagi khawatir akan kehabisan air dan memperbutkan sumber air, karena bendungan tersebut sudah menjamin kebutuhan air mereka, mengairi kebun-kebun dan memberi minum ternak mereka.


Kehancuran Kaum Saba’


Sebelum Ratu Bilqis masuk Islam, kaum Saba’ menyembah matahari dan bintang-bintang. Setelah ia memeluk Islam, maka kaumnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Sulaiman‘alaihissalam.


Sampai kurun waktu tertentu, kaum Saba’ tetap mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun kemudian, mereka kembali ke agama nenek moyang mereka, menyembah matahari dan bintang-bintang. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus tiga belas orang rasul kepada mereka (Tafsir Ibnu Katsir, 6: 507), 

akan tetapi mereka tetap tidak mau kembali ke agama monotheisme, mentauhidkan Allah  dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun. Allah pun mencabut kenikmatan yang telah Dia anugerahkan kepada mereka,


فَأَعْرَضُوْا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ العَرِمِ


Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir al-‘arim.” (QS. Saba’: 16)


Penyebab Hancurnya Bendungan Ma’rib


Penyebab kehancuran bendungan tersebut tentu saja adalah takdir AllahSubhanahu wa Ta’ala dan akibat dari kaum Saba’ yang kufur akan nikmat Allah terhadap mereka. Namun, Allah menciptakan suatu perantara yang bisa diterima oleh logika manusia agar manusia lebih mudah untuk merenungi dan mengambil pelajaran. Di dalam buku-buku tafsir disebutkan, seekor tikus yang lebih besar dari kucing sebagai penyebab runtuhnya bendungan Ma’rib. Subhanallah! Betapa mudahnya Allah menghancurkan bendungan tersebut, meskipun dengan seekor makhluk kecil yang dianggap eremah, tikus.


Sebab lain yang disebutkan oleh sejarawan adalah terjadinya perang saudara di kalangan rakyat Saba’ sementara bendungan mereka butuh pemugaran karena dirusak oleh musuh-musuh mereka (at-Tahrir wa at-Tanwir, 22: 169), perang saudara tersebut mengalihkan mereka dari memperbaiki bendungan Ma’rib. Allahu a’lam mana yang lebih benar mengenai berita-berita tersebut.


Bendungan ini hancur sekitara tahun 542 M. Setelah itu, mereka hidup dalam kesulitan, tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh subur di tanah mereka tidak lagi menghasilkan buah seperti sebelum-sebelumnya dan Yaman saat ini termasuk salah satu negeri termiskin dan terkering di Jazirah Arab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS. Saba’: 16-17)


Dalam firman-Nya yang lain


Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 112 – 113).


Kalau kita renungkan kisah kaum Saba’ dengan perenungan yang mendalam, tentu saja kita menemukan suatu kengerian, bagaimana sebuah negeri yang teramat sangat subur, lalu menjadi negeri yang kering dan tandus. Allah mengabadikan kisah kaum Saba’ ini di dalam Alquran dan memberi nama surat yang memuat kisah mereka dengan surat Saba’. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar manusia senantiasa mengingat-ingat apa yang terjadi kepada kaum ini. Demikian pula negeri kita, Indonesia, yang disebut sebagai jamrud katulistiwa, tongkat yang dibuang ke tanah akan menjadi pohon, sebagai gambaran kesuburannya, hendaknya kita merenungi apa yang terjadi pada kaum Saba’ agar kita tidak mengulang kisah perjalan mereka.


Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur.” (QS. Saba’: 19)


Ditulis oleh Nurfitri Hadi, M.A.


Pengaruh Teman dalam Kehidupan

By // Tidak ada komentar:

Pelajaran dari kisah persahabatan antara Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan persahabatan antara Ubaidullah bin Ziyad dengan Syamr bin Dzi al-Jausyan.


————


Islam sangat menaruh perhatian besar dalam masalah sosial, di antaranya dalam masalah pergaulan atau pertemanan. Islam menekankan agar seseorang memilih teman-teman yang baik, agar pengaruh baiknya membekas pada dirinya. Ketika seseorang berteman dengan seseorang yang shaleh, maka ia akan melihat adab-adab yang mulia, perkataan-perkataan santun dan baik, dan nasihat-nasihat pun akan keluar dari mulut sang teman apabila temannya yang lain melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Perumpamaan pertemanan seperti ini telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,


Dari Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:


عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً


Dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk (sepergaulan) yang buruk adalah seperti pembawa misk (minyak wangi) dan pandai besi. Si pembawa misk mungkin akan memberimu (minyak wangi) atau engkau membeli minyak itu darinya atau engkau mendapatkan baunya yang harum. Sedangkan pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu atau kamu dapati bau yang busuk darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Sedangkan teman yang buruk akan mendorong kita melakukan keburukan-keburukan atau batas minimalnya kita akan terbiasa melihat perbuatan maksiat, dan menghilangkan kebencian kita terhadap perbuatan dosa. Pertemanan seperti ini adalah perteman yang semu, semu di dunia ini, tidak langgeng, dan akan saling memusuhi di akhirat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ


 “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. (QS. Az-Zukhruf: 67).


Berikut ini kita akan mengambil pelajaran dari perteman Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh pertemanan yang baik, yang membawa pahala, dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan yang lainnya adalah pertemanan Pemimpin Irak, Ubaidullah bin Ziyad bersama teman dekatnya Syamr bin Dzi al-Jausyan, sebagai contoh pertemanan yang buruk, yang saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan kemaksiatan, serta mendekatkan keduanya kepada murka Allah.


Pertama, pertemanan Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik dengan Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahumallahu.


Saat Sulaiman bin Abdul Malik menjadi khalifah, ia mendekati orang-orang yang shaleh untuk ia jadikan teman dekat yang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya. Di antara orang tersebut adalah gubernurnya Umar bin Abdul Aziz. Sulaiman menjadikan Umar sebagai teman dekat dengan beberapa alasan:


-          Kepribadian Sulaiman sangat berbeda dengan saudaranya, al-Walid bin Abdul Malik, kahlifah sebelumnya. Al-Walid adalah seorang yang ujub, bangga terhadap dirinya sendiri, hanya percaya pada pendapatnya sendiri, sedangkan Sulaiman adalah seorang yang rendah hati, tidak ujub dan tidak membangga-banggakan dirinya.


-          Sulaiman meyakini bahwa Umar mempunyai pendapat-pendapat yang benar dan lurus.


-          Rasa terima kasih Sulaiman kepada sikap Umar tatkala al-Walid hendak menyingkirkan dirinya. Hal ini menimbulkan kedekatan secara personal di antara mereka berdua.


Ketika Sulaiman naik tahta menjadi khalifah, ia tidak melupakan kerabat sekaligus teman dekatnya Umar bin Abdul Aziz. Ia sering meminta nasihat dan tidak berkeberatan apabila diingatkan ketika pendapatnya tidak membuat maslahat. Di antara contohnya Umar mempengaruhi Sulaiman untuk membuat kebijakan agar masyarakat menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan jangan sampai aktivitas mereka melalaikan dari ibadah yang agung ini (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal. 170). Umar memberi masukan kepada Sulaiman terhadap Hajjaj bin Yusuf dan kroni-kroninya agar meerka dibatasi dan tidak bertindak sewenang-wenang (Atsar al-Ulama fi al-Hayah as-Siyasiyah, Hal: 169).


Sulaiman bin Abdul Malik juga terbuka dan menerima kritik. Umar bin Abdul Aziz mengkritik Sulaiman terkait surat wasiat Khalifah Abdul Malik tentang hak waris putri-putrinya. Sulaiman hendak melaksanakan wasiat sang ayah, Abdul Malik, yang menyatakan putri-putrinya tidak mendapatkan warisan. Lalu Umar menyanggahnya, kata Umar, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau meminta kitab Allah (sebagai putusan yang adil)?” Saat itu Ayyub bin Sulaiman menanggapi perkataan Umar, “Apakah salah seorang diantara kalian tidak takut mengucapkan kata-kata yang karenanya lehernya dipenggal?” Maka Umar menanggapi, “Jika perkara ini diserahkan ke tanganmu, maka apa yang menimpa kaum muslimin lebih besar daripada apa yang engkau katakan.” Sulaiman lalu membela Umar dan memarahi Ayyub (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Hal: 31).


Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Mdinah, ia membagi-bagikan harta dalam jumlah yang besar kepada penduduk Madinah. Lalu ia bertanya kepada Umar, “Apa pendapatmu tentang apa yang telah kami lakukan wahai Abu Hafsh (kun-yah Umar)?” Umar menjawab, “Aku melihatmu membuat orang kaya semakin kaya dan membiarkan orang-orang miskin dengan kemiskinannya.” (at-Tarikh al-Islami, 15: 30-31). Umar mengkritik sedekah yang dilakukan Sulaiman karena tidak tepat sasaran, dan penting bagi khalifah untuk membedakan antara sekedar berbuat baik biasa degan berbuat baik dengan cara tepat sasaran sehingga memiliki manfaat yang jauh lebih besar.


Di hari Arafah, Sulaiman dan Umar wukuf di Arafah. Sulaiman merasa bahagia dengan banyaknya umat Islam yang berkumpul memenuhi panggilan Allah. Saat itu Umar bin Abdul Aziz berkata kepadanya, “Mereka adalah rakyatmu hari ini, tetapi besok kamu akan ditanya tentang mereka.” Dalam riwayat lain, “Mereka adalah orang-orang yang akan menuntutmu di hari kiamat.” Tiba-tiba Sulaiman menangis, nasihat Umar benar-benar menghujam di dadanya, ia berkata, “Hanya kepada Allah aku memohon pertolongan.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 12: 685).


Inilah profil pertemanan yang bermanfaat, pertemanan yang saling mengajak kepada kebaikan, bahkan sebelum wafatnya Sulaiman menunjuk Umar sebagai khalifah agar amanah kepemimpinannya bisa meringankannya.


Berikutnya adalah contoh pertemanan yang buruk. Teman yang buruk akan mengajak temannya melakukan perbuatan dosa dan menjauhkannya dari AllahTa’ala. Pertemanan antara Ubaidullah bin Ziyad dan Syamr bin Dzi al-Jausyan.


Di dalam Huqbah min at-Tarikh dikisahkan, saat terjadi kekacauan di masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dimana Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah, hendak berangkat menuju Kufah (kota di Irak) untuk menyambut undangan penduduk Kufah yang siap membaiatnya sebagai khalifah.


Saat Husein hampir tida di Kufah, ia dicegat oleh pasukan-pasukan Kufah atas perintah Ubaidullah bin Ziyad. Awalnya Ubaidullah hanya akan melakukan apa yang Yazid perintahkan, yakni supaya Husein tidak memasuki Kufah demi menghindari terjadinya fitnah. Husein pun akhirnya menyadari bahwa penduduk Kufah telah menghianatinya, Husein mengajukan beberapa pilihan kepada pasukan Kufah; membiarkannya pulang ke Mekah atau Madinah, pergi menemui Yazid di Syam, atau membiarkannya pergi menuju daerah perbatasan. Saat keinginan ini disampaikan kepada Ubaidullah, ia menuruti apa yang diinginkan Husein, dan menghormatinya sebagai keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Namun apa yang baru saja diucapkan Ubaidullah seketika menjadi berubah saat mendengar masukan dari Syamr bin Dzi al-Jausyan. Kata Syamr, “Engkau seorang pemimpin, tapi dia (Husein) yang menentukan? Aneh sekali.” Lalu Syamr menyarankan, “Bawa dia kemari sebagai tahanan, lalu engkau yang tentukan setelah itu.”


Akhirnya pasukan diperintahkan untuk menahan Husein, dan membawanya ke Irak sebagai tahanan. Husein yang tidak menerima hal itu, karena seorang muslim memang tidak boleh dijadikan tawanan oleh muslim lainnya, terlebih dia adalah satu-satunya cucu Rasulullah yang hidup di muka bumi ini, kekerabatannya dengan Rasulullah sangatlah dekat, dan Rasulullah memerintahkan umatnya agar berbuat baik kepada keluarganya. Namun Ubaidullah sudah terlalu gelap untuk menerima hukum-hukum tersebut, pasukannya pun –yang terdiri dari orang-orang yang berhianat kepada Husein- menerima perintah tanpa memikirkan siapa yang mereka hadapi. Akhirnya Husein radhyiallahu ‘anhu terbunuh.


Inilah pengaruh teman yang buruk, sampai-sampai bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tidak hanya membuat gelap mata seseorang dari kemaksiatan-kemaksiatan kecil bahkan dosa besar pun tidak dirasakan lagi, dosa membunuh orang yang termasuk kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Oleh karena itu, hendaknya kita memilih teman-teman yang baik, yang menjauhkan kita dari bahaya dan perbuatan dosa. Dan mencari teman-teman yang shaleh, yang mempengaruhi kita untuk semakin taat kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala.


Ditulis oleh Nurfitri Hadi


Keutamaan Shalat di Awal Waktu

By // Tidak ada komentar:

Bismillahirirrahmanirrahiim..
Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Apa pendapat kalian jika di depan pintu salah seorang kalian terdapat sungai lalu ia mandi di dalamnya lima kali tiap hari, apakah masih tersisa kotoran dari padanya ?”

Para sahabat menjawab, “Tentu tidak akan tersisa sedikitpun kotoran dari padanya “. 
Beliau berkata, “Demikian pula dengan sholat lima waktu, dengan sholat itu, Allah menghapus dosa-dosa”.
-( HR. Bukhari dan Muslim )-

Irama kehidupan Jakarta dan kota-kota besar lainnya, kadang melalaikan kita dari beribadah kepada Allah, termasuk amalan ibadah Sholat.

Sholat yang tidak membutuhkan banyak pengorbanan materi, tenaga dan waktu ini justru menjadi amalan ibadah yang paling sering dan susah untuk diamalkan dengan baik, tentunya yang dimaksudkan disini adalah Sholat yang selalu terjaga waktunya, yaitu di awal waktu.

Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah, ‘Apakah amal yang paling dicintai oleh Allah ?’
Beliau bersabda, ‘SHALAT PADA AWAL WAKTU’,
Saya bertanya, ‘Kemudian apa lagi ?’,
Beliau bersabda, ‘Berbakti kepada kedua orang tua’,
Saya bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi ?’,
Beliau bersabda, ‘Berjihad (berjuang) di jalan Allah’.
Saya berdiam diri dari Rasulullah. Seandainya saya meminta tambah, niscaya beliau menambahkannya.
-( HR.Bukhari )-

Dari hadits ini kita bisa mengetahui bahwa ada beberapa amalan yang disukai Allah dan amalan Sholat tepat pada waktunya adalah yang paling dicintai Allah.
Sholat fardlu adalah Rukun Islam yang selalu kita kerjakan setiap harinya, Subuh, Dzuhur, Asar, Maghrib dan Isya.
Kadang kala kita rajin mengerjakannya, kadang kala lalai dan yang paling sering adalah menunda-nunda waktu sholat oleh karena kesibukan dunia.

Ketika membicarakan waktu shalat kadang kita menganggap sebagai hal yang biasa saja. Namun ternyata waktu sholat sangat berperan dalam menentukan kualitas sholat kita.
Apakah sholat kita bagus atau tidak ?, apakah Istiqomah ? Apakah serius atau main-main ? atau lalai dalam waktu sholat seperti yang dimaksudkan Allah dalam firmannya,

“Maka celakalah orang-orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. QS. 107 Al-Maa’uun, ayat 4-5. Dalam beberapa tafsir yang dimaksud lalai dalam sholatnya adalah orang-orang yang mengakhirkan waktu-waktu sholat.

Rasulullah telah mengajarkan tentang waktu-waktu sholat. Abdillah bin ‘Amr bahwasanya Nabi Muhammad SAW telah bersabda,
“Waktu Dzuhur apabila tergelincir matahari dan bayangan seseorang sepanjang badannya, selama belum hadir waktu ashar. Dan waktu ashar selama belum kuning matahari.
Dan waktu maghrib selama belum hilang tanda merah. Dan waktu Isya hingga setengah malam yang pertengahan. Waktu Subuh dari terbit fajar selama belum terbit matahari”. (HR. Muslim)

Rasulullah juga memberikan tuntunan waktu sholat, jika tidak ada udzur, maka diutamakan sholat pada awal waktu atau sholat tepat pada waktunya.
Sholat tepat waktu adalah keutamaan, apalagi bila dilaksanakan berjamaah dan di masjid. Keutamaan ini akan berlipat ganda bila kita mempersiapkan diri sebelum melaksanakannya dengan menunggu waktu sholat sebelum adzan berkumandang. Mengapa ?
1. Menunggu waktu sholat adalah bukti kecintaan seorang hamba pada Rabb-nya. Seorang yang mencintai selalu merindukan saat perjumpaan dengan yang dicintai. Dia akan menantikaannya agar tidak terlambat berjumpa.
2. Menunggu waktu sholat memberikan kesempatan untuk melakukan banyak kebaikan lainnya. Membaca Al Qur’an, berdzikir, mendirikan sholat sunat, I’tikaf, menyiapkan tempat sholat, membereskan pekerjaan kantor dan amalan lainnya.
3. Menunggu waktu sholat memperkecil kemungkinan berbuat maksiat.
4. Menunggu waktu sholat kita akan senantiasa menjaga kebersihan diri, hati dan pikiran kita.

Menunggu waktu sholat ini akan lebih bermakna dalam kehidupan seorang muslim manakala jangka waktu menunggu ini diperluas, pemaknaannya tidak hanya sekedar menunggu waktu sholat di masjid saja. Tapi menempatkan seluruh aktivitas kehidupan dalam kerangka menunggu waktu sholat.

Hidup kita pada hakikatnya adalah perpindahan dari satu sholat ke sholat berikutnya. Akan sangat indah kehidupan kita bila kita mampu mengubah paradigma dengan menjadikan seluruh aktivitas hidup kita menjadi aktivitas sampingan dari sholat.

Seluruh aktivitas hidup kita adalah amalan saat menunggu waktu sholat. Sehingga seluruh aktivitas hidup kita akan semakin berkualitas karena dilandasi dengan mahabbatullah (cinta kepada Allah).

Kita akan senantiasa menjaga seluruh aktivitas hidup kita agar selalu terjaga kebersihannya, niatnya, nilai dzikirnya, nilai amar ma’ruf nahi munkarnya, nilai tawadlunya, karena semuanya dalam rangka menunggu waktu sholat, menunggu perjumpaan kita dengan yang kita cintai, Allah SWT.
Semoga kita diberikan kemudahan oleh Allah SWT dalam menjaga sholat dan waktu-waktunya. Aamiin.

(Ditulis ulang dari Buletin Mimbar Jumat, Amalan Yang Dicintai Allah oleh Drs. H. Muhammad Subki, MA)

Wallahu’alam bishshawab, ..
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ....
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...

Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...Amiin.

Sumber: Mutiara Hati dan Jiwa (Facebook)

Semoga Bermanfaat :)
#Khafaj


Baca Juga:
- Mengapa Shalat Harus Tepat Waktu?? Ini Jawabannya..
- Perasaan Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa Manusia
- Kisah Sepotong Roti Penebus Dosa
- Kisah Seorang Pencuri Terong
- Kisah Seorang Pemuda Zuhud 
- Biografi Singkat WaliSongo : Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)