Dosa Namimah, Mengadu Domba

By // Tidak ada komentar:

Namimah atau mengadu domba satu pihak dan pihak lainnya sering menimbulkan kerusuhan atau cek-cok yang berkepanjangan. Oleh karenanya perbuatan ini jika dilakukan terus menerus termasuk dalam dosa besar (al kabair).
Adu domba seperti inilah yang biasa kita lihat dilakukan oleh pers dan media. Tujuannya, untuk melariskan berita.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati salah satu sudut kota Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang diazab di kubur. Beliau pun bersabda,
يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ
Mereka berdua disiksa. Mereka menganggap bahwa itu bukan perkara besar, namun sesungguhnya itu perkara besar. Orang yang pertama disiksa karena tidak menutupi diri ketika kencing. Adapun orang yang kedua disiksa karena suka mengadu domba (namimah).(HR. Bukhari no. 216 dan Muslim no. 292).
Namimah menurut Ibnu Daqiq Al ‘Ied berarti menukil perkataan orang lain. Yang dimaksud adalah menukil perkataan orang lain dengan maksud membuat kerusakan atau bahaya. Adapun jika menukil pembicaraan oran lain dengan maksud mendatangkan maslahat atau menolak mafsadat (kejelekan), maka itu dianjurkan. Ibnu Hajar menjelaskan bahwa itu pengertian namimah dengan makna umum. Ulama lain berkata berbeda dengan itu.
Imam Nawawi berkata, “Namimah adalah menukil perkataan orang lain dengan tujuan untuk membuat kerusakan. Namimah inilah sejelek-jelek perbuatan.”
Al Karmani sendiri mengatakan bahwa menyatakan seperti itu tidaklah tepat karena kalau dikatakan dosa besar yang dikenakan hukuman, maka bukan hanya maksudnya melakukan namimah, namun namimah tersebut dilakukan terus menerus. Karena sesuatu yang dilakukan terus menerus dapat menjadi dosa besar. Dosa kecil yang dilakukan terus menerus dapat menjadi dosa besar. Atau bisa jadi makna al kabiroh dalam hadits bukanlah seperti makna dosa besar dalam hadits.
Penjelasan di atas adalah penjelasan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 1: 319.
Akibat jelek dari perbuatan namimah dari kisah istri Abu Lahab bisa dibaca di sini.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
 Muhammad Abduh Tuasikal

Tahukah Anda Seberapa Luas Alam Semesta Ini ?

By // Tidak ada komentar:

 Tahukah Anda Seberapa Luas Alam Semesta Ini ?
  
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.Ali Imraan (3):190-191). 

Sebesar apakah alam semesta ini ? Dimanakah batasnya ? Mungkinkah kita mengetahuinya?  Untuk mempelajari ini, marilah kita melakukan perjalanan di alam semesta untuk merenungkan besar dan agungnya kekuasaan Allah SWT. Artikel ini diambil dari sebuah video astronomi berjudul “How big the universe?” oleh Moeflich Hasbullah.

  • Marilah kita melakukan perjalanan di alam semesta dengan berangkat dari planet bumi tempat kita tinggal.
  • Untuk memudahkan, marilah kita membuat asumsi bahwa perjalanan kita dimulai tgl. 1 Januari dengan kecepatan cahaya yaitu 186.000 mil/detik (=223.200 km/detik). Sebagai perbandingan, ukuran diameter planet bumi adalah 12.756 km. Jadi, satu detik kita melesat melakukan perjalanan sama dengan 17 lebih kita menembus bumi.
  • Dalam waktu 8 menit 19 detik, perjalanan kita sudah melewati Planet Venus dengan jarak dari bumi 93.000.000 mil (111,6 juta km).



  

  • Setelah 5 jam, 31 menit, perjalanan kita telah melewati Planet Pluto dan kedua bulannya. Jarak perjalanan kita dari bumi sudah mencapai 3,5 milyar mil (=4,2 milyar km) sudah keluar dari batas luar sistem tata surya kita. Dan, kita masih di tgl. 1 Januari atau belum satu hari (baru lima jam lebih).
  • Kemudian perjalanan kita mulai menuju galaksi. Dibelakang kita, 9 planet dan matahari sudah hilang, sudah tidak kelihatan. Sama dengan setitik debu yang jauh dari mata kita. Sudah setitik debu jauh lagi, tidak mungkin kelihatan. Itu adalah matahari yang sangat panas dan sangat besar di tata surya.
 



  • Akhirnya setelah 5 tahun perjalanan kita di alam semesta (sekali lagi dengan kecepatan cahaya 223.200 km/detik. Bayangkan, 5 tahun. 1 detik saja kita sudah melewati jarak 223.200 km, ini 5 tahun), pada 19 April, barulah kita bisa melihat bintang Alpha Centauri, bintang terdekat dengan tata surya kita. Dan jarak yang sudah kita tempuh adalah 25 trilliun mil (30 triliun km). Dan sekarang, perjalanan kita yang sangat, sangat dan sangat jauh baru akan kita mulai. Ya, BARU AKAN KITA MULAI…  Allaahu Akbar…..!!!!  


    • Pada jarak 10 tahun cahaya dari matahari kita, sangat jauh sekali di alam semesta, satu persatu bintang-bintang yang membentuk galaksi kita bisa kita lewati.
      • Pada jarak 100 tahun cahaya (=500 triliun mil=600 triliun km), bahan-bahan gas dan nabula dari ujung-ujung galaksi Milky Way mulai nampak dalam pandangan kita.

       


      • Setelah 1.000 tahun cahaya, ekor-ekor galaksi dan bentuk disketnya mulai kelihatan.
      • Baru setelah perjalanan kita menembus 100.000 tahun cahaya, bentuk spiral dari galaksi Milky Way bisa kelihatan seluruhnya.
      • Bila perjalanan diteruskan lebih jauh lagi, yang kita lihat kemudian bukan lagi individu-individu bintang atau bintang satu persatu, tapi sudah gugusan-gugusan galaksi lain di alam semesta selain galaksi Milky Way, galaksi kita.


      • Jika kita tambahkan 22 angka nol di belakang angka 10 yaitu 100.000.000.000.000.000.000.000 (100 milyar triliun) tahun cahaya, baru kita bisa melihat banyaknya galaksi di alam semesta. Lain kata, mata kita hanya baru bisa melihat ternyata banyak galaksi lain di alam semesta, bila kita berada dalam jarak 100 milyar triliun dari matahari.
      • Setelah 5 juta tahun cahaya, nampaklah ternyata bahwa galaksi Milky Way kita hanyalah salah satu dari 30 galaksi yang membentuk satu gugusan galaksi yang lebih besar. Lain kata, galaksi kita yang luasnya sudah tidak terjangkau oleh fikiran dan imajinasi kita, hanyalah salah satu dari 30 galaksi yang berkumpul. Ini dikenal baru sebagai kumpulan gugusan galaksi lokal. Ingat, baru LOKAL di alam semesta!!

       

      •  Dari jarak 50 juta tahun cahaya, kita memasuki sebuah cluster maha raksasa yang terdiri dari 2.000 gugusan galaksi. Perjalanan ini berarti kita memasuki lebih dalam dari kosmos.
      • Akhirnya, setelah 10 milyar tahun cahaya, pandangan teoritis tentang alam semesta harus dihentikan !!! Lain kata, pandangan teori tidak mampu lagi menjangkau luasnya alam semesta. Miliaran galaksi yang tak terhingga dan tak terjangkau teori itu, atau sudah tak mungkin angka bisa menyebutnya, ternyata hanyalah sebuah titik di alam semesta. Baru sebuah titik ! ALLAAHU AKBAR ….

       

      Cara termudah membayangkan besarnya alam semesta adalah bila kita sedang menyapu rumah di pagi atau sore hari, jutaan debu yang sangat kecil tampak berterbangan melayang-layang di depan mata kita. Akan lebih jelas bila terkena sinar matahari yang masuk ke rumah. Diilustrasikan sebagai alam semesta, salah satu titik debu yang melayang di depan mata kita itu, adalah sebuah kumpulan galaksi maha raksasa yang isinya miliaran galaksi, triliunan bintang dan planet. Terbayangkah besarnya? Di ruang alam semesta, jangankan matahari dan bumi, tata surya kita saja, tidak mungkin terlihat. Artinya, tata surya yang sangat besar itu, tak ada artinya di alam semesta. Diibaratkan debu rumah, besarnya tata surya kita (ingat bukan matahari apalagi bumi) hanyalah sepersejuta debu yang melayang-layang dan tak terlihat itu.

      Terbayangkah? Itu semua baru makhluk-Nya. Nah, sekarang bayangkan penciptanya. Bayangkanlah pencipta ketakterhinggaan itu. Pasti tidak terbayang karena jangankan penciptanya, alam semesta saja sebagai makhluk-Nya sudah tidak terjangkau fikiran manusia. Perjalanan kita di alam semesta harus berakhir di keterbatasan ilmu pengetahuan. “Tafakkaru fi khalqillah, wa la tatafakkaru fi dzatillah!” Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Fikirkanlah (renungkanlah) makhluk Allah (ciptaan-Nya), dan janganlah memikirkan dzat Allah!” Memikirkan makhluk-Nya saja, manusia tidak akan sanggup, apalagi penciptanya. Itulah sebab logisnya, memikirkan Tuhan dilarang karena tidak mungkin. Otak, fikiran dan “kecerdasan” pengetahuan manusia terlalu lemah.

      Lalu, pantaskah kita yang sangat tak berarti ini, bersikap sombong dihadapan-Nya dengan tak mau taat atas perintah-Nya? Merasa hebat, pintar dan kuat? Pantaslah, Allah sangat benci pada manusia yang sombong menolak perintah dan aturan-Nya karena memang sangat tidak tahu diri, sangat tidak menyadari keadaannya di alam semesta, sangat tidak menyadari kelemahan dan ketakberartiannya. Pantaslah pula, bahwa kesombongan hanya milik Allah. Sombong adalah jubahnya Allah dan yang siapa mencoba-coba memakai jubah-Nya akan disiksa dengan segala kemurkaan-Nya.



      Memikirkan keagungan alam semesta dan menemukan rahasianya adalah wajib bagi manusia sebagai sarana untuk terus-menerus merenung agar bisa merasakan keberadaan Tuhan. Tuhan itu untuk diimani dan disembah dengan segala perasaan ketakberartian kita. Itulah agama!! Wallahu a’lam.

      mukomukoshare.com

      Keliru dalam Tawakkal

      By // Tidak ada komentar:

      Kita pernah melihat segolongan orang yang berniat untuk berdakwah lantas ia pun meninggalkan anak dan istrinya. Karena tawakkalnya yang tinggi, ia pun hanya membekali keluarganya dengan indomie dan beberapa makanan yang ia anggap cukup ketika ia meninggalkan mereka selama seminggu. 
      Malah yang terjadi, keluarga yang ditinggal mencari-cari uluran tangan orang lain karena kelalaian dari suaminya sendiri.
      Ibnul Jauzi rahimahullah pernah berkata,
      “Sekelompok orang mengklaim bahwa mereka adalah orang yang memiliki tawakkal yang tinggi. Mereka pun pergi keluar (bersafar) tanpa membawa bekal apa-apa. Padahal hal itu adalah suatu kesalahan dalam memahami tawakkal.
      Ada seseorang yang pernah berkata pada Imam Ahmad bin Hambal, “Aku ingin pergi ke Makkah dengan bermodalkan tawakkal saja tanpa berbekal.” Imam Ahmad lantas berkata padanya, “Kamu pergi saja tanpa membawa kafilah.” Ia pun menjawab, “Tidak, aku tetap pergi bersama mereka (kafilah).” Imam Ahmad pun menjawab,
      فَعَلَى جِرَابِ النَّاسِ تَوَكَّلْتَ!
      “Apakah engkau hanya mau menggantungkan diri (tawakkal) pada bekal orang lain?!”
      Kita memohon kepada Allah, moga diluruskan dari pemahaman yang keliru.” (Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi, dinukil dari Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 153)
      Intinya, tawakkal bukanlah hanya sekedar pasrah. Di dalam tawakkal harus ada melakukan usaha yang benar dan masuk akal.
      Sahl bin ‘Abdillah At Tusturi berkata, “Siapa yang mencela tawakkal, maka ia telah cacat dalam iman. Siapa yang enggan berusaha, maka ia telah mencacati logikanya.”  (Al Muntaqo An Nafis min Talbisil Iblis, hal. 312)
      Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
       Muhammad Abduh Tuasikal -

      Aurat Wanita Menurut Madzhab Syafi'i

      By // Tidak ada komentar:

      Manakah aurat wanita? Yang kita bahas kali ini adalah aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan di hadapan umum, di hadapan para pria yang bukan mahramnya. Tinjauan kami kali ini adalah berdasarkan madzhab Syafi’i.

      Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

      احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ

      “Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

      Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119).
      Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama). (Idem).

      Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib, 1: 115).

      Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.

      Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.

      Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’- menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

      وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

      “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. (Lihat Al Iqna’, 1: 221).

      Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib, 1: 116).

      Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

      وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

      “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286).

      Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya berpakaian ketat, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya.

      Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat. Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya yang panjangnya hingga pinggang atau paha sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih sempurna menggunakan rok yang lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah berikut ini.

      عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

      Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“(HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

      Pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan ulama Syafi’iyah di atas, punggung dan bagian dalam telapak tangan bukanlah aurat yang mesti ditutupi, wallahu a’lam.

      Hanya Allah yang memberi taufik.

      Referensi:

      Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyyah.

      Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

      Fathul Qorib (Al Qoul Al Mukhtar), Muhammad bin Qasim Al Ghozzi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.

      Minhajuth Tholibin, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq dan ta’liq: Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz Al Haddad, terbitan Darul Basyair Al Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1426 H.

      Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan keempata, tahun 1431 H.

      Sumber: rumaysho.com

      Aurat Wanita Menurut Madzhab Syafi'i

      By // Tidak ada komentar:

      Manakah aurat wanita? Yang kita bahas kali ini adalah aurat wanita yang tidak boleh ditampakkan di hadapan umum, di hadapan para pria yang bukan mahramnya. Tinjauan kami kali ini adalah berdasarkan madzhab Syafi’i.


      Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

      احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ

      “Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

      Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119).


      Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama). (Idem).

      Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia ketika berada bukan hanya di dalam shalat, namun juga di luar shalat. Juga aurat tersebut ditutup ketika bersendirian kecuali jika dalam keadaan mandi.” (Fathul Qorib, 1: 115).

      Adapun aurat wanita disinggung oleh Imam Nawawi yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. (Al Majmu’, 3: 122). Juga disinggung beliau dalam Minhajuth Tholibin, 1: 188.

      Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di atas adalah pendapat mayoritas ulama dan itulah pendapat terkuat.

      Muhammad Al Khotib -ulama Syafi’iyah, penyusun kitab Al Iqna’- menyatakan bahwa aurat wanita -merdeka- adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya (termasuk bagian punggung dan bagian telapak tangan hingga pergelangan tangan). Alasannya adalah firman Allah Ta’ala,

      وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

      “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang dimaksud menurut ulama pakar tafsir adalah wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat karena kebutuhan yang menuntut keduanya untuk ditampakkan. (Lihat Al Iqna’, 1: 221).

      Ibnu Qasim Al Ghozzi berkata, “Aurat wanita merdeka di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, termasuk dalam telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan. Adapun aurat wanita merdeka di luar shalat adalah seluruh tubuhnya. Ketika sendirian aurat wanita adalah sebagaimana pria -yaitu antara pusar dan lutut-.” (Fathul Qorib, 1: 116).

      Asy Syarbini berkata, “Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Termasuk telapak tangan adalah bagian punggung dan dalam telapak tangan, dari ujung jari hingga pergelangan tangan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

      وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

      “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nur: 31). Yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah tafsiran dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah.” (Mughnil Muhtaj, 1: 286).

      Konsekuensi dari pernyataan aurat wanita di atas, bagian tangan dan kaki adalah aurat termasuk juga badan. Sehingga kalau bagian tersebut hanya dibalut dengan baju dan tidak longgar, alias ketat, maka berarti aurat belumlah tertutup. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah dengan memakai penutup kepala namun sayangnya berpakaian ketat, bukanlah menutup aurat karena bagian aurat seperti tangan masih terlihat bentuk lekuk tubuhnya. 


      Celana ketat pada paha pun masih menampakkan lekuk tubuh yang seksi. Lebih-lebih di dada walau kepala tertutup, masih membuat laki-laki tergoda syahwatnya.

      Berjilbab yang benar bukan hanya menutup rambut kepala. Tetapi juga harus memperhatikan baju dan rok yang digunakan, mestilah lebar. Adapun menggunakan celana panjang tidaklah menggambarkan menutup aurat dengan sempurna meski longgar karena bentuk lekuk tubuh masih terlihat. Jadi yang aman bagi wanita adalah menggunakan baju atau gamis lalu ditutupi dengan jilbab yang lebar di luarnya yang panjangnya hingga pinggang atau paha sehingga lebih menutupi sempurna bagian badan. Kemudian bagian bawah lebih sempurna menggunakan rok yang lebar (longgar), tidak ketat. Rok tersebut hingga menutupi kaki. 


      Adapun panjang rok tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Salamah berikut ini.

      عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

      Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menjulurkan pakaiannya (di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah pasti tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat.” Ummu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana para wanita menyikapi ujung pakaiannya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah mereka menjulurkannya sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, telangkap kakinya masih tersingkap.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turunkan satu hasta, jangan lebih dari itu.“(HR. Tirmidzi no. 1731 dan An Nasai no. 5338. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)


      Hanya Allah yang memberi taufik.

      Referensi:


      Al Iqna’ fii Halli Alfazhi Abi Syuja’, Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyyah.

      Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

      Fathul Qorib (Al Qoul Al Mukhtar), Muhammad bin Qasim Al Ghozzi, terbitan Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1432 H.

      Minhajuth Tholibin, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq dan ta’liq: Dr. Ahmad bin ‘Abdul ‘Aziz Al Haddad, terbitan Darul Basyair Al Islamiyyah, cetakan kedua, tahun 1426 H.

      Mughni Al Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan keempata, tahun 1431 H.

      Sumber: rumaysho.com

      Taqlid yang di Haramkan

      By // Tidak ada komentar:

      Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari


      Semua Ulama sepakat bahwa semua kaum Muslimin wajib berpegang teguh pada al-Qur`ân dan Sunnah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya. 

      Namun kita lihat pada kenyataannya, ada sebagian orang mengharuskan umat Islam fanatik kepada salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah, dan Hanâbilah. Bahkan ada yang berani mengharamkan pengambilan pendapat dari selain madzhabnya.

      Oleh karena itu, pada tulisan ini kami akan menyampaikan tentang makna taqlîd dan taqlîd yang diharamkan, sehingga kita benar-benar bisa ittibâ’ (mengikuti) agama Allah Azza wa Jalla dengan sebaik-baiknya. 

      MAKNA TAQLID


      Secara bahasa taqlîd berarti meletakkan kalung di leher. Adapun secara istilah agama, para Ulama mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat yang sedikit berbeda, namun intinya sama. Berikut adalah beberapa penjelasan Ulama tentang makna taqlîd:

      1. Al-Amidi rahimahullah berkata, taqlîd adalah,

      الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ مُلْزِمَةٍ

      Mengamalkan pendapat orang lain dengan tanpa ada hujjah/argumen yang mewajibkan (amalan itu-red). [Al-Ihkâm 4/221]

      2. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa taqlîd adalah, 

      قَبُوْلُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ

      Menerima perkataan orang lain dengan tanpa hujjah. [Raudhatun Nazhir, hlm. 205]

      3. Ibnu Subki rahimahullah dalam kitab Jam’ul Jawâmi’ menyatakan bahwa taqlîd adalah,

      أَخْذُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ دَلِيْلِهِ 

      Mengambil suatu perkataan/pendapat tanpa mengetahui dalilnya. 

      4. Syaikh al-Kamal bin al-Humam rahimahullah dalam kitab At-Tahrîr, mendefinisikan taqlîd sebagai berikut:

      اْلعَمَلُ بِقَوْلِ مَنْ لَيْسَ قَوْلُهُ إِحْدَى الْحُجَجِ بِلاَ حُجَّةٍ مِنْهَا

      Mengamalkan pendapat orang yang perkataannya bukan termasuk hujjah dengan tanpa hujjah/dalil. [At-Tahrîr, hlm. 547; dinukil dari At-Taqlîd 1/8]

      Yang dimaksud dengan “Mengamalkan perkataan/pendapat orang lain”, adalah meyakini kebenaran ijtihad orang lain dan melaksanakannya. Menurut Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah “ 


      Ijtihad itu ada pada dua perkara: 
      Pertama : Perkara yang sama sekali tidak ada nashnya (dalilnya).

      Kedua : Perkara yang ada nash-nash namun nash-nash ini seakan bertentangan, sehingga harus ada ijtihad dalam menggabungkan atau mentarjîh (menguatkan salah satu nash).[1]

      Dan yang dimaksud dengan “Hujjah/argumen yang mewajibkan”, adalah hujjah yang wajib diamalkan, yaitu dalil yang dipandang syari’at bisa untuk menetapkan hukum, seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’. 

      PERBEDAAN ANTARA ITTIBA’ DENGAN TAQLIID 


      Sebagian orang tidak bisa membedakan antara ittibâ’ dengan taqlîd, padahal di antara keduanya terdapat perbedaan nyata. 

      Taqlîd adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan tanpa ada dalil yang mewajibkan perbuatan itu ataupun membolehkannya. Seperti seorang awam atau mujtahid mengambil dari orang awam, karena dalil tidak mewajibkan dan tidak membolehkannya. Kecuali orang awam yang mengambil dari mujtahid atau mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain dalam keadaan-keadaan tertentu.

      Sedangkan ittibâ’ adalah seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain dengan ada dalil yang mewajibkan. Seperti seseorang mengikuti apa yang ada di dalam al-Qur’ân, atau yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau qâdhi (hakim) yang mengambil perkataan saksi-saksi yang adil; karena dalil mewajibkan mengamalkannya.

      Ada persamaan antara taqlîd dan ittibâ’ dari sisi mengambil atau mengamalkan pendapat atau perbuatan orang lain; sedangkan perbedaannya, taqlîd dilakukan dengan tanpa dalil, sedangkan ittibâ’ dilakukan dengan dalil. 

      KEWAJIBAN ITTIBA’ DAN TAQLID YANG HARAM


      Hukum asal dari ittibâ’ (mengikuti dalil) adalah diperintahkan, sedangkan taqlîd terlarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :

      اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

      Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya). [al-A’râf/7:3]

      Namun, karena sebagian orang tidak mampu ittibâ’ dalam segala keadaan ataupun sebagiannya, maka mereka ini diperbolehkan taqlîd, sebagaimana penjelasan Syaikh asy-Syinqîthi. Beliau rahimahullah mengatakan : “Tidak ada yang menyelisihi tentang kebolehan taqlîd bagi orang awam kecuali sebagian kelompok Qadariyah.”[2] Namun, hukum ini tidak bisa diterapkan dalam semua bentuk taqlîd karena 


      ada beberapa bentuk taqlîd yang dilarang, misalnya:
      A. Taqlîd (Mengikuti) Nenek Moyang Dan Berpaling Dari Wahyu.
      Contohnya, seperti yang dilakukan orang-orang musyrik di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Azza wa Jalla memberitakan keadaan mereka dan mencela mereka dengan firman-Nya:

      وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

      Apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah", mereka menjawab, "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? [Luqmân/31:21]

      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Dalam al-Qur’ân Allah Azza wa Jalla mencela orang yang menyimpang dari mengikuti Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kearah agama selama ini dia praktikkan yaitu agama nenek moyangnya. Inilah taqlîd yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti selain Rasul dalam masalah yang diselisihi oleh Rasul. Taqlîd ini hukumnya haram bagi siapapun, berdasarkan kesepakatan umat Islam, karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada al-Khâliq”. [Qawâidul Ushûl, hlm 45]

      B. Taqlîd Kepada Orang Yang Tidak Diketahui Keahliannya Dalam Agama. 


      Allah Azza wa Jalla berfirman:

      وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

      Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ’/17:36]

      Sisi pengambilan dalil dari ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla melarang seorang Muslim mengikuti apa yang tidak ia ketahui, sementara hukum asal dari sebuah larangan adalah haram. Orang yang bertaqlîd kepada orang yang tidak ia ketahui keahliannya, berarti dia telah mengikuti sesuatu yang tidak ia ketahui, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/15]

      C. Taqlîd Setelah Mengetahui Dalil Yang Menyelisihi Pendapat Orang Yang Diikuti.
      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

      Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]

      Sisi pengambilan dalil ayat ini yaitu Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya agar mengembalikan urusan yang mereka perselisihkan ke al-Qur`ân dan Sunnah. Kalau begitu, berarti mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah hukumnya haram. Dan orang yang bertaqlîd kepada seseorang setelah mengetahui dalil yang menyelisihi pendapatnya, maka dia telah mengembalikan perselisihan kepada selain al-Qur`ân dan Sunnah, sehingga hukumnya haram. [At-Taqlîd, 1/16]

      Di antara bentuk-bentuk taqlîd terlarang lainnya adalah :


      1.Orang awam mengamalkan pendapat orang awam semisalnya.
      2. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid semisalnya, baik dia telah berijtihad atau tidak.
      3. Seorang mujtahid mengamalkan pendapat orang awam.
      4. Termasuk taqlîd yang terlarang adalah mengambil hukum-hukum syari’at dari seorang imam (guru) tertentu dan menganggapnya seperti nash-nash agama yang wajib diikuti. [Lihat 1/10]

      APAKAH TERMASUK TAQLIID?


      Di bawah ini adalah bentuk-bentuk men
      gikuti perkataan orang lain namun tidak digolongkan taqlîd:

      1. Mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla ; karena firman Allah Azza wa Jalla merupakan hujjah. Banyak dalil-dalil nyata yang menunjukkan kewajiban beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan kitab suci-Nya. Berarti konsekwensinya harus diikuti dan diamalkan.

      2. Mengamalkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; karena sabda beliau merupakan hujjah. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya di dalam banyak ayat di dalam al-Qur’ân.

      3. Mengamalkan pendapat yang merupakan ijmâ’ (kesepakatan Ulama’); karena pengamalan ini berdasarkan hujjah, maksudnya al-Qur’ân dan Sunnah mewajibkan kaum Muslimin mengamalkan ijmâ’.

      4. Seorang qâdhi (hakim) menerima dan menghukumi berdasar persaksian para saksi yang adil. Karena menghukumi dengan dasar persaksian para saksi yang telah memenuhi rukun dan syarat, telah ditunjukkan oleh al-Qur’ân, Sunnah, dan ijmâ’.

      5. Orang awam yang mengamalkan fatwa seorang mufti, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu ijmâ’ Ulama tentang kewajiban orang awam meruju’ ke mufti dalam masalah yang dia butuhkan.

      6. Mengamalkan riwayat dari perawi, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan riwayat yang benar. 

      7. Mengamalkan perkataan Sahabat, jika tidak ada Sahabat lain yang menyelisihinya. Karena perkataan Sahabat yang tidak menyelisihi al-Qur’ân, Sunnah serta tidak menyelisihi perkataan Sahabat yang lain merupakan hujjah, menurut pendapat yang râjih (kuat).

      CONTOH-CONTOH TAQLID YANG HARAM


      1. Pendapat firqah Syi’ah Imamiyah yang mewajibkan mengikuti imam yang mereka anggap ma’shûm, walaupun menyelisihi ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

      2. Anggapan sebagian orang yang fanatik kepada madzhab imam tertentu, bahwa pendapat-pendapat imam mereka adalah syari’at, sampai mereka tidak bisa menerima jika ada keutamaan yang dinisbatkan kepada seorang Ulama yang bukan imam mereka.

      3. Pendapat sekelompok orang yang mengaku mengikuti ahli Tashawwuf yang menjadikan perkataan-perkataan dan kejadian-kejadian yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka sebagai agama, sekalipun menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah.

      4. Para muqallîd (orang-orang yang taqlîd) menjadikan hakim sebagian syaikh (wali) yang mereka anggap telah meraih derajat kesempurnaan tertinggi, dan mereka menisbatkan kesalahan yang mereka lakukan kepada syaikh-syaikh itu, serta menolak kebenaran yang dinukilkan dari para Ulama yang mendahului para syaikh itu.

      5. Pendapat para rasionalis dari firqah Mu’tazilah yang mengukur kebaikan dan keburukan dengan akal. Akhirnya, menjadikan akal manusia sebagai hakim dengan tanpa memperdulikan syari’at. Jika syari’at sesuai dengan akal dan hawa nafsu mereka, mereka menerimanya; jika tidak, mereka menolaknya.
      Dengan penjelasan singkat ini, kita bisa mengetahui berbagai jenis taqlîd terlarang yang masih banyak dilakukan oleh sebagian umat ini. Untuk itu, hendaknya kita kembali kepada agama kita yang akan menghantarkan kepada kebaikan di dunia dan akhirat.

      (Referensi : kitab At-Taqlîd wal Iftâ’ wal Istiftâ’, karya Syaikh `Abdul Azîz ar-Râjihi)
      [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
      _______
      Footnote
      [1]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi, tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th. 1419 H / 1999 M
      [2]. Mudzakkirah Ushûlil Fiqh, hlm. 533-534, karya Syaikh asy-Syinqîthi, tahqîq: Abu Hafsh Sâmi al-‘Arabi, penerbit: Dârul Yaqîn, cet: 1, th. 1419 H / 1999 M

      Arsip Blog