Hukum Jamaah Kedua Dalam Satu Masjid

By
Advertisement
 

Sudah masyhur di kalangan ulama -sejak dari zaman sahabat hingga para ulama di zaman ini- akan adanya perbedaan pendapat mengenai hukum mendirikan jamaah kedua di dalam satu masjid. 

Hanya saja sebelum kita melihat perbedaan pendapat tersebut beserta dalilnya masing-masing, 

maka di sini kita harus mengetahui terlebih dahulu: Jamaah kedua yang bagaimana yang diperdebatkan oleh para ulama mengenai hukumnya ? Hal itu karena para ulama menyebutkan adanya beberapa bentuk jamaah kedua, dimana sebagiannya ada yang telah disepakati akan hukumnya. 

Karenanya sangat penting bagi kita untuk mengetahui bentuk-bentuk itu, agar jangan sampai kita berselisih pada masalah yang sudah disepakati atau kita mengklaim (tanpa dalil) adanya ijma’ pada masalah yang sebenarnya masih diperselisihkan.

Karenanya, berikut beberapa bentuk pelaksanaan jamaah kedua yang disebutkan oleh para ulama:
  • Jamaah kedua yang dilakukan di masjid-masjid atau mushalla-mushalla di pinggir jalan atau di tempat-tempat umum, seperti pasar dan semacamnya.
Hukumnya: Diperbolehkan karena masjid-masjid seperti ini sangat sulit untuk diatur silih bergantinya jamaah. Dan melarang jamaah kedua dalam keadaan seperti ini akan menyebabkan banyak orang akan kehilangan kesempatan untuk shalat berjamaah.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah Al-Kuwaitiah (22/47), “Adapun jika masjid berada di pasar, atau tempat lalu lalang manusia, atau tidak memiliki imam rawatib, atau punya imam rawatib, tetapi dia memberikan izin kepada jamaah kedua, maka tidak dimakruhkan adanya shalat jamaah yang kedua, ketiga, dan seterusnya, menurut ijma.”

  • Jamaah kedua yang didirikan sementara jamaah pertama belum selesai. Atau dengan kata lain ada dua jamaah yang sedang berlangsung dalam satu waktu.
Hukumnya: Tidak diragukan akan haramnya jamaah kedua seperti ini baik masjid itu mempunyai imam rawatib maupun tidak.

Pengharamannya karena beberapa alasan, di antaranya:

  1. Ini adalah amalan yang muhdats (perkara baru) / (Bid'ah) dalam agama yang belum pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para ulama sepeninggal beliau.
  2. Memecah belah persatuan kaum muslimin. Dan ini sangat bertentangan dengan tujuan didirikannya shalat jamaah yang tidak lain untuk mempererat kesatuan kaum muslimin.
  3. Akan terjadi kegaduhan di dalam shalat dengan saling berkumandangnya takbir antara satu imam dengan imam di jamaah lainnya. Terlebih jika shalatnya adalah shalat jahriah, tentunya suara imam/jamaah satu akan ‘bertabrakan’ dengan suara imam/jamaah kedua.

  • Jamaah kedua yang didirikan karena adanya perbedaan madzhab atau perbedaan manhaj atau perbedaan pendapat.
Misalnya sekelompok orang yang mengklaim dirinya di atas sunnah tidak mau ikut shalat dengan jamaah pertama yang -di mata mereka- bukan merupakan ahlussunnah. Atau adanya dua jamaah karena salah satu di antara dua jamaah ini ada yang menggunakan qunut subuh dan yang lainnya tidak menggunakannya.

Hukumnya: Ini juga adalah bentuk jamaah kedua yang terlarang dengan alasan yang sama seperti pada point sebelumnya, baik masjid tersebut mempunyai imam rawatib maupun tidak.

  • Jamaah kedua yang didirikan di dalam masjid yang tidak mempunyai imam rawatib (tetap).
Hukumnya: Boleh berdasarkan kesepakatan para ulama. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila sebuah masjid tidak memiliki imam rawatib maka tidak dimakruhkan mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih, berdasarkan ijma’.[1]”

  • Jamaah kedua yang didirikan secara rutin dan sudah menjadi suatu kebiasaan di masjid yang mempunyai imam ratib.
Hukumnya: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Mengerjakan jama’ah kedua pada masjid yang memiliki imam rawatib (tetap), jika dilakukan terus-menerus, maka ini menjadi satu kebid’ahan.[2]”

  • Jamaah kedua yang dilakukan pada masjid yang mempunyai imam rawatib, akan tetapi jamaah ini didirikan akibat tidak mampunya masjid menampung seluruh jamaah yang akan shalat.
Hukumnya : Hal ini juga diperbolehkan.

Referensi :

[1] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (4/222)
[2] I’lamul ‘Abid, hal. 79-80

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog